Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah RHM telah berkata: “Dan termasuk dalam hal yang kami sebutkan dari iman kepada Allah, yaitu beriman kepada apa yang Allah beritakan dalam kitab-Nya dan dengan apa yang telah diriwayatkan dari Rasul-Nya secara mutawatir serta disepakati oleh Shalafus Shalih, bahwasanya Allah itu berada diatas langit diatas ‘Arsy-Nya”.
Allah Maha Tinggi diatas mahluk-Nya dan Allah Subhanahu wa ta’ala bersama mereka dimana saja mereka berada dan Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan, sebagaimana Allah tuturkan yang demikian itu dalam firmanNya:
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu (wa huwa ma’akum) di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Surah Al-Hadid: 4).
Dan bukanlah makna dari firman Allah (wa huwa ma’akum) bahwasanya Allah itu bercampur (bersatu) dengan makhluk-Nya, hal itu karena:
1. Tidak dibenarkan secara bahasa.
2. Bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh Slaful Ummah.
3. Bertentangan dengan fitrah cipataan-Nya (makhluk-Nya).
Bahkan bulan merupakan salah satu tanda dari tanda-tanda (kekuasaan) Allah, yang termasuk diantara mahlukNya yang paling kecil yang terdapat di langit. Dan bulan ini bersama musafir (orang dalam perjalanan) dimana saja dia berada, serta yang bukan musafir. Dan Allah berada (bersemayam) diatas ‘Arsy, Allah mengawasi mahluk-Nya dan Allah memperhatikan (perbuatan) mereka, meneliti (gerak-gerik mereka), mengintai mereka, dan seterusnya dalam pengertian RububiyahNya.
Dan setiap yang disebutkan Allah bahwa Allah itu berada diatas ‘Arsy dan Allah bersama kita, ini adalah haq menurut hakekatnya dan tidak perlu kita tahrif [1].
Akan tetapi juga harus dijaga dari prasangka-prasangka yang tidak benar, seperti prasangka bahwasannya yang nampak dari firman Allah (Fis samaa’ = Di langit) , bahwa Allah dinaugi atau ditahan oleh langit. Penafsiran seperti ini adalah penafsiran yang bathil (tidak benar) menurut kesepakatan Ahli Ilmu dan Iman, karena Allah Ta’ala berfirman:
“Kursiy Allah meliputi langit dan bumi.” (surah Al-Baqarah: 255)
“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap.” (Surah Fathir: 41)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradah-Nya.” (surah Ar-Rum: 25)
Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah RHM dalam pasal ini menjelaskan tentang tingginya sifat dan dzat Allah dan bersemayamnya Allah diatas ‘Arsy-Nya dan ini termasuk iman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dan disebabkan karena terjadi perbedaan dan pertentangan yang panjang dalam masalah ini antara Ahlus Sunnah dengan golongan Jahmiyah, Mu’tazilah dan yang mengikuti mereka dalam masalah ini dari golongan Asy’ariyah dan yang seperti mereka (Maturidiyah) dan lain-lainnya.
Tentang tingginya Allah di langit, bersemayam diatas ‘Arsy, telah ditulis dan disusun beberapa buku tersendiri oleh Ahlus Sunnah [2] yang dibawakan padanya nash-nash dari Al-Qur’an dan Assunnah yang tidak mungkin ditolak atau ditolak sebagiannya. Dan mereka wujudkan dengan akal sehat bahwasanya fitrah yang suci dan akal yang sehat mengakui bahkan menyakini kewajiban iman kepada Allah berada diatas ‘Arsy, kecuali orang-orang yang sudah diubah fitrahnya oleh aqidah yang bathil.
Mushannif (Ibnu Taimiyyah) telah menjelaskan dalam pembahasan ini penggabungan antara iman terhadap Tingginya Allah dengan kebersamaan Allah, serta Ilmu Allah yang meliputi. Dan beliau mentahqiq (menjelaskan) dengan perkataan yang jelas atau terang dengan contoh-contoh yang mendekatkan kepada makna yang tidak perlu lagi ditambah.
======================================================================================
Syarh Aqidah Al Wasithiyyah – Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Pensyarh : Syaikh Abdurahman bin Nashir As-Sa’di
Penta’liq : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pentakhrij : Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al Atsari
Catatan kaki:
[1] Tahrif artinya memalingkan. Tanpa tahrif yakni tidak boleh memalingkan makna bersemayam kepada makna yang lain (-pent).
[2] Diantara kitab-kitab itu adalah:
1. Itsbat Shifatil ‘Uluw oleh Imam Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisy (541-620H) tahqiq Dr. Ahmad bin Athiyyah bin Ali Al-Ghamidiy dan juga tahqiq Badr bin Abdullah al-Badr.
2. Mukhtashar Al-’Uluw lil Aliyil Ghaffar oleh Al-Hafidz Syamsudiin bin Qaimaz Adz-Dzahabi (673-748H) Diringkas, ditahqiq, dan ditakrij oleh Muhammad Nashirudiin Al-Albaniy.
http://websitedada0.wordpress.com/2012/05/06/menetapkan-sifat-istiwa-allah-di-atas-arsy/