INDIMUS
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

INDIMUS

KOMUNITAS INDIGO MUSLIM yang mewadahi diskusi pengenalan INDIGO bukan hanya melalui penelitian modern tetapi juga dari sudut pandang ISLAM
 
IndeksGalleryLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
RADIO DAKWAH
Latest topics
» aku indigo bukan ya?
ILMU MUSTHALAH AL-HADITS Icon_minitimeTue Nov 27, 2012 3:29 pm by mazwar.azisabd

» assalamu alaikum
ILMU MUSTHALAH AL-HADITS Icon_minitimeTue Nov 27, 2012 2:54 pm by mazwar.azisabd

» SESUNGGUHNYA ALLAH TA’ALA ITU BERADA DI ATAS ‘ARSY-NYA YANG LOKASINYA TERLETAK DI ATAP ALAM SEMESTA
ILMU MUSTHALAH AL-HADITS Icon_minitimeTue Nov 27, 2012 2:48 pm by mazwar.azisabd

» Pengobatan Alternatif: Antara Syirik dan Syariah
ILMU MUSTHALAH AL-HADITS Icon_minitimeThu Sep 06, 2012 10:23 am by rarasati

» salam kenal
ILMU MUSTHALAH AL-HADITS Icon_minitimeSat Aug 25, 2012 7:58 am by uteute

» KOMPOSISI, PROSES PEMBUATAN & KEHALALAN VAKSIN
ILMU MUSTHALAH AL-HADITS Icon_minitimeSat Aug 11, 2012 3:23 pm by Admin

» IBU JANGAN BAWA AKU KE NERAKA
ILMU MUSTHALAH AL-HADITS Icon_minitimeFri Aug 10, 2012 4:33 pm by rarasati

» curahtku tentang indimus
ILMU MUSTHALAH AL-HADITS Icon_minitimeMon Jul 09, 2012 4:15 am by rarasati

» BENARKAH ADA INDIGO YANG BERASAL DARI KERAJAAN LAUT SELATAN DAN UTARA?
ILMU MUSTHALAH AL-HADITS Icon_minitimeSun Jul 01, 2012 3:18 pm by Admin

» INDIGO SALAHKAH?
ILMU MUSTHALAH AL-HADITS Icon_minitimeSun Jul 01, 2012 2:52 pm by Admin

Affiliates
free forum

Pencarian
 
 

Display results as :
 
Rechercher Advanced Search

 

 ILMU MUSTHALAH AL-HADITS

Go down 
PengirimMessage
Admin
Admin
Admin


Jumlah posting : 34
Join date : 10.01.11

ILMU MUSTHALAH AL-HADITS Empty
PostSubyek: ILMU MUSTHALAH AL-HADITS   ILMU MUSTHALAH AL-HADITS Icon_minitimeSun Jan 30, 2011 3:05 pm

بسم الله الرحمن الرحيم

As-Sunnah menurut istilah syarî‘at adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi‘il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlaq yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyrî‘ (pensyari‘atan) bagi ummat Islâm [1]. As-Sunnah menurut ulama‘ Salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, ‘itiqâd (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya. Secara istilah, as-Sunnah memiliki pengertian yang sama dengan al-Hâdîts menurut pendapat Jumhur Ulama‘ [2].

Di dalam menilai validitas sebuah hadits harus di buktikan dengan ‘ilmîyyah baik dari sisi riwâyah[3] maupun dirâyah[4] dengan metode kritik ekstern sanad [5] dan intern matan [6] serta interpretasi syarah [7] hâdîts, dan tidak dibenarkan bila menolak hanya dengan akal atau perasaan semata tanpa pembuktian ‘ilmîyyah. Maka kategori hâdîts yang maqbul (diterima) dan hâdîts yang mardud (ditolak) harus ditinjau dari ilmu hâdîts atau qawâ’idul hâdîtsiyyah, yang tidak terlepas dari berbagai macam syarat.[8]



1. Hâdîts Maqbul (diterima), terdiri dari hâdîts Shahîh dan Hasan, yang masing-masingnya terbagi menjadi dua bagian dan memiliki perinciannya masing-masing yaitu:

a. Pembagian hâdîts shahîh[9]

Shahîh menurut lughah artinya: Yang selamat dari cacat atau aib, yang benar, yang betul, yang sehat.

Menurut istilah: Satu hâdîts yang diriwayatkan oleh râwi-râwi yang ’adl, dan dhâbith yang sempurna, dan sanad-sanadnya bersambung dari awal sampai akhirnya, serta tidak ada syadz dan tidak ada ’illat qâdihah.

Pertama: Shahîh Lidzatihi

Shahîh lidzatihi artinya: Yang sudah jelas karena dzatnya dengan tidak perlu mendapatkan bantuan lagi.

Menurut istilah: Satu hâdîts yang telah memenuhi lima persyaratan sebagaimana tersebut di atas, yaitu: râwi-râwinya ’adl, dan dhâbith yang sempurna, dan sanad-sanadnya bersambung dari awal sampai akhirnya, serta tidak ada syadz dan tidak ada ’illat qâdihah.

Kedua: Shahîh Lighairihi

Shahîh lighairihi artinya: Yang shahîh karena dikuatkan atau dibantu dengan yang selainnya.

Menurut istilah: Satu hâdîts yang telah memenuhi persyaratan hâdîts shahîh, hanya pada persyaratan yang kedua kurang, kemudian dibantu dengan jalan lain yang sebanding atau lebih tinggi darinya. Yang bila dirincikan, yaitu: râwi-râwinya ’adl, diantara râwi-râwinya ada yang kurang dhâbith, sanad-nya bersambung, dari awal sampai akhirnya, tidak ada syadz, dan tidak ada ’illat-nya.

Kemudian dikuatkan atau dibantu dengan jalan yang sebanding atau lebih tinggi darinya.

b. Pembagian Hâdîts Hasan[10]

Hasan menurut lughah artinya: Yang baik, yang bagus. Sebagaimana hadits shahîh, maka hâdîts hasan juga ada dua macam:

Pertama: Hasan Lidzatihi

Menurut istilah: Satu hâdîts yang diriwayatkan oleh râwi-râwi yang ’adl, akan tetapi diantara râwi-râwinya ada yang kurang dhâbith, sanad-nya bersambung serta tidak ada syadz dan tidak ada ’illat-nya.

Kedua: Hasan Lighairihi.

Menurut istilah: Satu hâdîts yang di sanadnya ada râwi yang bersifat: Mastur (belum jelas keadaannya), atau Mudallis (yang menyamarkan), atau râwi yang Mukhtalith (berubah hafalannya karena sebab tua atau sebab-sebab lain), atau râwi yang Sayyî’ul Hifzhi (buruk hafalannya), atau hâdîts yang sanadnya Mursal –akan tetapi shahîh-.

Lalu dikuatkan dengan jalan lain yang lebih tinggi atau sebanding dengannya bukan yang dibawahnya, maka naiklah hâdîts itu menjadi hasan lighairihi. Dikatakan naik, karena hâdîts tersebut tadinya berderajat lemah yang ringan kedha‘îfannya.

Kalau ada hâdîts lemah disebabkan râwinya pendusta atau dituduh dusta atau fasiq atau râwi yang banyak salah dan lalai atau râwi yang bodoh dan tidak faham tentang hâdîts, kemudian datang jalan lain yang membantunya yang sebanding atau sama dengannya meskipun banyak, maka tidaklah naik kederajat hasan apalagi shahîh, akan tetapi tetap atas kelemahannya, bahkan terkadang bertambah kelemahannya.



2. Hadits Mardud (ditolak), yang secara umum dinamakan oleh para ulama‘ dengan hâdîts dha‘îf (lemah) atau hâdîts yang tidak memenuhi persyaratan hâdîts shahîh atau hasan.

Penyebab sebuah hâdîts menjadi dha‘îf dapat di tinjau dari dua sisi yaitu:

Pertama: Disebabkan Terputusnya sanad [11]

Kedha‘îfan hâdîts yang disebabkan karena terputus atau gugurnya sanad terdiri dari beberapa macam diantaranya:

a. Hâdîts Mu’allaq[12]

Mu’allaq artinya: Yang digantungkan.

Menurut istilah: Hâdîts yang terputus dari awal sanad-nya seorang râwi atau lebih.

b. Hâdîts Mu’dhal[13]

Mu’dhal artinya: Tempat memberatkan.

Menurut istilah: Hâdîts yang gugur di dalam sanadnya dua orang râwi ayau lebih dengan syarat secara berturut-turut.

c. Hâdîts Munqathi’[14]

Munqathi’ artinya: Yang memutuskan.

Menurut istilah: Hâdîts yang disanadnya gugur seorang râwi sebelum Shahabat, atau gugur dua orang râwi di dua tempat dengan syarat tidak berturut-turut.

d. Hâdîts Mudallas

Mudallas – isim maf’ul- artinya: Yang disembunyikan, yang di gelapkan, yang disamarkan.

Sedangkan bentuk mashdar-nya adalah talis, yang artinya menurut lughah ialah: Merahasiakan cacat dan menyembunyikannya. Orang atau râwi yang melakukannya dinamakan Mudallis, dan perbuatan itu dinamakan Tadlis, sedangkan hâdîts atau riwayatnya itu dinamakan Mudallas.

Tadlis di dalam Mushthalah terbagi menjadi dua macam:

* Pertama: Tadlis Isnâd

Tadlis isnâd menurut istilah: Hâdîts yang diriwayatkan oleh seorang râwi dari seorang râwi yang ia sezaman dan bertemu dengannya, akan tetap dia tidak mendengar hâdîts darinya (dari râwi itu), kemudian ia membuat keraguan dengan memakai lafazh yang seolah-olah ia mendengar darinya.

Tadlis isnâd terdiri dari beberapa macam diantaranya:

- Tadlis Taswiyah[15]

Taswiyah artinya: Menyamarkan.

Menurut istilah: Hâdîts yang diriwayatkan oleh seorang râwi mudallis yang mendengar hâdîts itu dari syaikh atau gurunya yang tsiqah, râwi yang tsiqah ini menerima hâdîts dari râwi yang dha‘îf (lemah), kemudian râwi yang lemah ini meriwayatkan itu dari râwi yang tsiqah. Lalu untuk membaguskan sanad hâdîts tersebut, si Mudallis menggugurkan râwi yang lemah yang berada diantara dua râwi yang tsiqah dengan menggunakan lafazh yang tidak tegas seolah-olah râwi tsiqah yang pertama menerima hâdîts itu dari râwi tsiqah yang kedua.

- Tadlis ’Athaf[16]

’Athaf artinya: Yang diperikutkan, yang dihubungkan, disambung.

Menurut istilah: Hâdîts yang diriwayatkan oleh seorang râwi mudallis yang ia mendengar hâdîts itu dari syaikh atau gurunya, kemudian ia iringi dengan râwi yang lain dengan menggunakan huruf ’athaf (huruf wawu: و) yang ia tidak mendengar hâdîts itu dari râwi yang kedua yang ia ‘athafkan.

- Tadlis Sukût[17]

Sukût artinya: Diam tidak bicara.

Menurut istilah: Seorang Mudallis meriwayatkan hâdîts dengan menggunakan lafazh yang tegas, kemudian ia diam dengan niat memutuskan pembicaraan, setelah itu ia berkata, ”Si Fulan”.

* Kedua: Tadlis Syuyukh.

Syuyukh bentuk jamak dari syaikh yang artinya: Guru. Tadlis syuyukh maksudnya: Seorang râwi menyamarkan keadaan syaikhnya supaya tidak diketahui hal yang sebenarnya.

Menurut istilah: Si Mudallis mensifatkan syaikhnya, yang ia mendengar hâdîts darinya dengan suatu sifat yang tidak masyhûr atau terkenal, berupa nama, kunyah, nasab, atau laqab atau gelaran dan lain-lain.[18]

e. Hâdîts Mursal

Mursal artinya: Mutlak atau yang terlepas.

Menurut istilah: Hâdîts yang disandarkan oleh Tâbi‘in secara langsung kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam tanpa menyebutkan nama Shahabat yang meriwayatkan.[19]

Selain hâdîts mursal Tâbi‘in, hâdîts mursal juga terbagi atas:

* Pertama: Mursal Khafi.

Khafi artinya: Yang tersembunyi.

Menurut istilah: Hâdîts yang diriwayatkan oleh seorang râwi dari seorang râwi yang semasa atau sezaman dengannya, akan tetapi dia tidak pernah bertemu dengannya.[20]

* Kedua: Mursal Shahâbi.

Shahâbi artinya: Seorang Shahabat. Yang dimaksudkan Shahabat disini adalah Shahabat Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.

Menurut istilah: Hâdîts yang diriwayatkan oleh Shahabat yang ia sendiri tidak mendengar secara langsung atau melihat kejadiannya dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, tetapi dengan perantaraan Shahabat lain.[21]



Kedua: Disebabkan Cacat dan Tercelanya Râwi.[22]

Hâdîts dha‘îf yang disebabkan cacat dan tercelanya râwi ada sepuluh macam. Lima macam berkaitan dengan ke‘adalahan râwinya dan lima macam lagi berkaitan dengan kedhâbithan râwinya.

1. Yang Berkaitan Dengan ’Adalah-nya Râwi:

a. Karena dusta dan bohongnya râwi atas nama Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dengan sengaja.[23]

b. Karena râwi tersebut dituduh telah berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.[24]

c. Karena râwi tersebut sering salah atau buruk kesalahannya di dalam meriwayatkan hâdîts.

d. Karena râwi tersebut sering lalai di dalam meriwayatkan hâdîts, yakni tidak teguh atau kuat di dalam meriwayatkannya.

e. Karena râwi tersebut seorang yang fasiq.[25]

2. Yang berkaitan Dengan Ke-dhâbith-an Râwi:

a. Karena râwi tersebut sering waham (ragu-ragu).[26]

b. Karena riwayat dari yang tsiqah, menyalahi riwayat dari râwi yang lebih tsiqah.[27]

c. Karena râwi tersebut seorang yang majhul atau mubham.[28]

d. Karena râwi tersebut seorang ahli bid‘ah.[29]

e. Karena râwi tersebut buruk hafalannya.



Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albâny rahimahullâh berkata: ”Tashhih dan tadh‘if hâdîts adalah suatu amal ‘ilmiyyah yang membutuhkan ketelitian, menuntut pengetahuan yang baik terhadap ilmu hâdîts dan ushûlnya, ini dari satu sisi, dan pengetahuan yang sangat dalam terhadap thûruqul hâdîts, dan sanadnya dari sisi yang lain,”[30]



Syaikh Jarh wa Ta’dil, Imâm adz-Dzâhabi rahimahullâh berkata: ”Berbicara tentang râwi-râwi hâdîts membutuhkan kewara’an (kehati-hatian) yang sempurna serta terbebas dari hawa nafsu dan keberfihakan. Dan memiliki pengetahuan yang sempurna terhadap hâdîts, ’illat-’illat-nya dan rijalnya.”[31]



_________

Foot note:

[1] Muhammad Jamaluddin al-Qâsimi dalam Qawâ‘idu al-Tahdîts (hal. 62); Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib dalam Ushûl Hâdîts, cet. IV Dâr al-Fikr, thn. 1401 H; Dr. Mahmud ath-Thahhân dalam Taisîr Musthalah al-Hâdîts (hal. 15). Lihat juga DR. Ibrâhim bin ‘Âmir ar-Ruhailiy dalam Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamâ‘ah min Ahlil Ahwâ’ wal Bida‘ (I/29-35) dan DR. Muhammad ‘Ajâj al-Khathib dalam As-Sunnah Qabla at-Tadwin (hal. 14-22).



[2] Yazid bin ‘Abdul Qâdir Jawas dalam Kedudukan As-Sunnah dalam Syarî‘at Islâm, cet. Pustaka at-Taqwa (hal. 10-11).



[3] Riwâyah (رواية) artinya: meriwayatkan, menceritakan, memindahkan. Secara istilah: Satu macam ilmu tentang meriwayatkan sabda-sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, perbuatan-perbuatannya, taqrir-taqrirnya dan sifat-sifatnya.



[4] Dirâyah (دراية) artinya: pengetahuan. Menurut istilah: Satu macam ilmu tentang undang-undang dan qawâ‘id (dasar-dasar) yang dapat di ketahui dengannya, sah atau tidaknya suatu hâdîts yang orang sandarkan kepada Nabi Shallallâhu‘alaihi wa Sallam.



[5] Sanad (سَنَد) atau isnâd (إسناد) artinya: Sandaran. Maksudnya: Jalan yang bersambung sampai kepada matan.



[6] Matan (المتن) artinya: Kuat, kokoh, keras dan teguh. Maksudnya: Isi atau perkataan atau lafazh-lafazh hâdîts yang terletak sesudah râwi dari sanad yang akhir.



[7] Al-Syarhu (الشرح) artinya: menguraikan dan memisahkan bagian sesuatu dari bagian yang lain. Syarah juga memiliki arti al-Kasyfu (الكشف) artinya membukakan, menampakkan sesuatu. Al-‘Allâmah Abû Fadhl Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram ibn Manzur al-Ifriqy al-Mishry dalam Lisân al-‘Arab, cet. I Dâr al-Shadhir-Beirut, thn. 1990 (II/497).

Al-Ashfahâni menyebutkan bahwa “Syarah pada pokoknya memiliki makna mengurai daging atau yang sejenisnya yang dalam istilah kedokteran disebut operasi.”

Syarhu al-Shadr (شرح الصدر) artinya meluaskan hati dengan cahaya ilâhiyyah dan ketenangan ruh dari Allâh. Dalam tradisi penulisan kitab, syarah adalah memberi catatan atau komentar kepada naskah atau matan suatu kitab.” Abul Qâsim al-Husain ibn Muhammad al-Raghîb al-Ashfahâni dalam al-Mufradat fi Gharîb al-Qur’ân, cet. Dâr al-Ma‘rifah-Beirut (hal. 256).



[8] Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalaniy dalam Syarh Nuzhatu an-Nazhâr fi Taudhîh Nukhbah al-Fikr, cet. Dâr Ibnu al-Jauzi, Al-Qâhirah (hal. 55-56).



[9] Mahmud Thahhân dalam Taisîr Mushthalah Hâdîts (hal. 29-37), Mushthalah Hâdîts (hal.13-20), al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalaniy dalam Muqaddimah Ibnu Shalah (hal. 7-15) dan Abû Unaisah dalam Al-Masâ’il (III/205-208).



[10] Mahmud Thahhân dalam Taisîr Mushthalah Hâdîts (hal. 38-43), Mushthalah Hâdîts (hal.14-15), al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalaniy dalam Muqaddimah Ibnu Shalah (hal. 15-20), Abû Unaisah dalam Al-Masâ’il (III/210-215) dan Al-Mandzumah Baîquniyah (hal. 44-46).



[11] Mahmud Thahhân dalam Taisîr Mushthalah Hâdîts (hal. 55-56).



[12] Adapun hâdîts mu’allaq yang terdapat di kitab Shahîh Bukhâri dan Muslim telah dijelaskan oleh para ulama‘ seperti al-Hâfizh Ibnu Hajar. Lihat Hadyus Sâri Muqaddimah Shahîh Bukhâri dan Imâm Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim (I/16, 17 dan 18). Hâdîts mu’allaq dalam Shahîh Bukhâri jumlahnya 1341 hâdîts. Dari jumlah yang banyak itu dapat kita pecah menjadi dua bagian.

Pertama: Yang mu’allaq di satu tempat atau di satu tempat atau di satu bab akan tetapi maushul sanadnya ditempat atau di bab yang lain di kitab Bukhâri itu. Maksud Imâm Bukhâri antara lain untuk meringkas kitabnya, bukan untuk maksud yang tidak baik.

Kedua: Yang mu’allaq di kitab Bukhâri, akan tetapi kedapatan sanadnya maushul di kitab Imâm-imâm yang lain seperti Imâm Muslim, Abû Dâwud, Ahmad, Nasâ’i, Tirmidzi, Ibnu Mâjah, al-Hâkim dan lain-lain. Atau di kitab Imâm Bukhâri yang lain selain kitab Shahîhnya seperti kitab Adâbul Mufrad, Juz-ul Qirâ’ah, Raf’ul Yadain dan lain-lain. Mu’allaq demikian ada dua macam:

1. Yang mu’allaq dengan memakai shighat jazm, yaitu lafazh-lafazh yang menentukan atau menetapkan.

2. Yang mu’allaq dengan memakai shighat tamridh, yaitu lafazh-lafazh yang sifatnya tidak menentukan atau menetapkan.

Sedangkan hâdîts-hâdîts mu’allaq yang terdapat di kitab Shahîh Muslim jumlahnya tidak banyak yaitu 12 hâdîts. Dan kesemuanya itu telah dijelaskan oleh Imâm Nawawi di kitabnya Syarh Shahîh Muslim (I/16, 17 dan 18).



[13] Gugurnya râwi di dalam hâdîts mu’dhal ini bersifat umum. Yakni: dapat terjadi di awal sanad, di pertengahan sanad, atau di akhir sanad (yakni tâbi‘in dan shahabat yang gugur).



[14] Hâdîts munqathi’ hukumnya tergolong dha‘îf yang tidak boleh dijadikan hujjah. Kelemahan hâdîts munqathi’ ini sama dengan hâdîts mu’allaq dan mu’dhal yang telah lalu. Dan ada yang menta’rifkan bahwa hâdîts munqathi’ itu ialah: setiap hâdîts yang terputus sanadnya. Maka kalau menurut ta‘rif ini, hâdîts mu’allaq dan mu’dhal yang telah lalu pembahasannya termasuk bagian munqathi’. Demikian juga hâdîts mudallas dan mursal yang akan datang keterangannya. Akan tetapi yang biasa terpakai ialah ta‘rif yang diterangkan diatas.



[15] Ibnu Katsîr dalam Ikhtishar Ulûmil Hâdîts, syarah Syaikh Ahmad Muhammad Syâkir (hal. 55) dan Imâm as-Suyuthi dalam Tadrîbur Râwi (I/225).



[16] Ma’rifâtu ‘Ulûmil Hâdîts (hal. 105) dan Tadrîbur Râwi (I/226).



[17] Al-Hâfizh Ibnu Hajar telah menamakan tadlis ini dengan: Tadlis Gatha’. Yang artinya: Tadlis memutuskan. Karena Si Mudallis memutuskan perbicaraan setelah ia mengucapkan lafazh tegas, sebelum ia menyebut nama râwinya.



[18] Hukumnya: Apabila syaikhnya itu seorang râwi yang lemah atau atau sangat lemah atau pendusta, maka para ulama’ sepakat tentang mengharamkan tadlis syuyukh ini.

Pertama: Dilihat dari kelemahan syaikhnya itu.

Kedua: Lebih tercela lagi apabila nama, kunyah, nasab atau laqab yang ia sifatkan bagi syaikhnya yang lemah itu “bersamaan” dengan râwi yang tsiqah dan telah masyhûr.



[19] Hâdîts mursal yang disandarkan Tâbi‘in itu baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Misalnya Tâbi‘in berkata, “Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda,” atau ia berkata, “Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam mengerjakan demikian,” atau ia menerangkan tentang taqrir Nabi Shallallâhu’alaihi wa Sallam kepada Shahabatnya. Imâm Ibnu Hajar al-Asqalaniy dalam Syarh Nukhbatul Fikr (hal. 73 dan 74) dan Ma‘rifâtu ‘Ulûmil Hâdîts (hal. 25).

Hâdîts mursal itu hukumnya dha‘îf yang tidak boleh dijadikan hujjah. Demikianlah pedapat dari ahli hâdîts sebagaimana dinukilkan oleh Imâm Ibnu ‘Abdil Bâr. Lihat Mukhtashar ‘Ulûmil Hâdîts (hal. 48).

Kelemahan hâdîts mursal itu terletak pada râwi yang digugurkan, siapa dia? Shahabatkah atau Tâbi‘in? Kalau dia Tâbi‘in apakah dia râwi yang tsiqah atau tidak? Dan dari siapakah dia menerima riwayat itu? Dari Shahabatkah atau Tâbi‘in juga? Begitulah seterusnya akan timbul pertanyaan-pertanyaan karena tidak jelas râwi yang digugurkan itu sehingga sangat tepat kalau hâdîts mursal itu tidak dipakai sebagai hujjah kecuali sebagai penguat atau pembantu. Dan apabila kita ingin mengetahui suatu hâdîts mursal atau tidak, maka kita harus mengetahui: Râwi-râwi yang masuk kelompok Tâbi‘in dan thabâqah-nya, dan nama-nama Shahabat Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Baca Taqrîbut Tahdzîb dan al-Ishâh fî Tamyiz ash-Shahâbah, susunan al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalaniy.



[20] Dari sini dapat dibedakan antara hâdîts mudallas yang disyaratkan râwi itu bertemu dengan syaikh atau gurunya dengan mursal khafi yang hanya semasa atau sezaman tetapi tidak pernah bertemu. Dan hâdîts mursal khafi ini termasuk hâdîts dha‘îf yang tidak boleh dipakai sebagai hujjah. Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalaniy dalam Syarh Nukhbatul Fikr; Syarh al-Baîquniyah (hal. 31) dan al-Hâfizh Ibnu Katsîr dalam Ikhtishar ‘Ulûmil Hâdîts (hal. 177 dan 178).



[21] Tentang hâdîts Mursal Shahâbi, telah sepakat para ulama mengambilnya sebagai hujjah. Ini di sebabkan:

Pertama: Telah disepakati pula bahwa Shahabat Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam adalah orang-orang yang adil yang tidak mungkin berdusta atas nama Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.

Kedua: Umumnya riwayat mereka dari Shahabat, karena sudah maklum bahwa para shahabat saling meriwayatkan hâdîts.

Baca: Muqaddimah Ibnu Shalah fî ‘Ulûmil Hâdîts (hal. 26), al-Hâfizh al-Irâqy dalam Syarh Muqaddimah Ibnu Shalah (hal. 75-80) dan Imâm as-Suyuthi dalam Tadrîbur Râwi (I/204).



[22] Abû Unaisah dalam Al-Masâ’il (III/263-267) dan Mahmud Thahhân dalam Taisîr Mushthalah Hâdîts (hal. 73-74).



[23] Hâdîts yang diriwayatkan oleh orang yang berbohong dengan sengaja atas nama Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dinamakan hâdîts Maudhû’. Dan tidak terkena ancaman berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bila dia tidak sengaja, seperti keliru atau lupa, meskipun hâdîtsnya tetap sebagai hâdîts Maudhû’.



[24] Yang dimaksud ialah: Bahwa râwi tersebut telah dikenal atau diketahui di dalam pembicaraannya biasa berbohong meskipun belum nyata atau diketahui bahwa dia pernah berbohong atas nama Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam oleh karena itu ia dituduh berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Hâdîts yang diriwayatkan oleh râwi yang dituduh berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam atau orang yang biasa berbohong kepada manusia dinamakan sebagai hâdîts Matruk.

[25] Untuk poin C sampai dengan E dinamakan hâdîts Munkar. Hâdîts munkar ialah riwayat dari râwi yang dha‘îf menyalahi riwayat dari râwi yang tsiqah. Atau seperti ta’rf diatas dengan ditambah satu, yaitu dari B sampai dengan E apabila seorang râwi yang disifatkan dengan salah satu dari B sampai dengan E menyendiri didalam meriwayatkan hâdîts, maka hâdîtsnya dinamakan hâdîts munkar.



[26] Misalnya, dia memaushulkan (menyambung) sanad yang mursal atau munqathi’, atau memasukkan satu hâdîts ke dalam hâdîts yang lain dan lain-lain dari cacat dan tercela. Hal ini dapat diketahui dengan pemeriksaan yang dalam mengumpulkan jalan-jalan hâdîts sehingga dapat diketahui bahwa hâdîts tersebut ada ‘illat yang tercela. Hâdîts yang seperti ini dinamakan Hâdîts Al Mu’allal atau Hâdîts Ma’lul.



[27] Sedangkan hâdîts nya dinamakan sebagai hâdîts Syadz.



[28] Majhul artinya: tidak dikenal keadaan dirinya. Râwi yang majhul ada dua keadaan.

Pertama: Majhul ‘ain, ialah: tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali satu orang dan tidak ada seorangpun yang mentsiqahkannya, maka râwi yang seperti ini masuk kedalam râwi yang majhul ‘ain. Hâdîts atau riwayat dari râwi yang majhul ‘ain dha‘îf. Kecuali kalau dia telah ditsiqahkan oleh salah seorang Imâm atau lebih maka dia tidak majhul lagi. Akan tetapi kalau yang mentsiqahkannya itu Ibnu Hibban, maka jumhur ulama tidak dapat menerima tautsiq (pentsiqahan) dari Ibnu Hibban yang biasa mentsiqahkan râwi-râwi yang majhul.

Kedua: Majhul hal, ialah: telah ada yang meriwayatkan darinya sebanyak dua orang atau lebih akan tetapi tidak ada seorangpun yang mentsiqahkannya, maka râwi yang seperti ini masuk kedalam râwi yang majhul hal atau mastur. Hâdîts atau riwayat dari râwi yang majhul hal atau mastur tidak mutlak ditolak dan tidak mutlak juga diterima. Jelasnya, apabila yang meriwayatkan darinya beberapa orang râwi tsiqah, -meskipun tidak ada yang mentsiqahkannya- maka hâdîts atau riwayatnya dapat diterima, imma derajatnya hasan atau shahîh. Diterima riwayatnya karena yang meriwayatkan darinya sejumlah râwi-râwi yang tsiqah, yang biasanya mereka tidak meriwayatkan dari seorang râwi kecuali yang tsiqah atau mereka menganggapnya tsiqah. Akan tetapi bila yang meriwayatkan darinya hanya râwi-râwi yang dha‘îf maka riwayatnya tertolak dan hâdîtsnya dha‘îf.

Adapun Mubham, yaitu: seorang râwi yang dikenal karena tidak disebut namanya. Misalnya diriwayatkan dari seorang laki-laki atau dengan lafazh pujian seperti dari seorang laki-laki yang tsiqah atau dari seorang yang tsiqah, maka riwayatnya tidak dapat diterima sekalipun dengan lafazh pujian seperti diatas karena nama râwi tersebut tidak diketahui. Oleh karena itu riwayat atau hâdîts dari yang mubham dha‘îf, kecuali kalau yang mubham itu Shahabat. Dan ini dapat diketahui misalnya dalam riwayat dikatakan dari seorang laki-laki Shahabat Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam atau dengan lafazh lain yang menunjukkan bahwa dia seorang Shahabat meskipun tidak disebut namanya. Maka hâdîts atau riwayatnya diterima dengan kesepakatan para ulama. Karena para ulama telah ijma’ bahwa seluruh Shahabat adalah adil. Tidak ada yang menyalahi ijma’ ini kecuali pengikut yang pernah dirubah oleh Allâh menjadi kera dan babi dari kaum syi’âh atau râfidhah yang dahulu dan sekarang.



[29] Hâdîts atau riwayat dari ahli bid‘ah tidak mutlak ditolak dan tidak mutlak juga diterima. Jelasnya, apabila dia seorang râwi yang tsiqah maka diterima riwayatnya. Dan apabila dia bukan seorang râwi yang tsiqah maka riwayatnya ditolak sama seperti râwi-râwi yang lain yang tidak tsiqah yang bukan ahli bid‘ah. Inilah keadilan ahli hâdîts dan pemeriksaan di dalam hâdîts, siapa saja dengan syarat muslim tsiqah di dalam meriwayatkan hâdîts maka hâdîtsnya diterima hatta dia seorang ahli bid’ah baik dia seorang yang mengajak kepada bid‘ahnya atau tidak dengan syarat di dalam riwayatnya itu tidak mengajak kepada bid‘ah-nya.



[30] Syaikh al-Albâniy dalam Muqaddimah Silsilah al Ahâdîts ash Shahîhah (Jilid 4).



[31] Imâm Ibnu ad-Dimasyqiy dalam ar-Raddu Wâfir (hal. 14), Mushthalahul Hâdîts al-Muwâqizhah (hal. 22) dan Imâm adz-Dzâhabi dalam Tadzkîrul Huffâzh (I/4).



Wallahu a'lam.

Penyusun :Ummu Sufyan Rahma
Kembali Ke Atas Go down
https://indimus.indonesianforum.net
 
ILMU MUSTHALAH AL-HADITS
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» BESARNYA KEBUTUHAN MANUSIA AKAN ILMU DAN MENUNTUT ILMU
» Biografi Para Ulama Ahlul Hadits
» PRINSIP MENGKAJI ILMU AGAMA

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
INDIMUS :: Dien Islam :: Tentang Islam-
Navigasi: